Sejarah Sistem Keuangan Dunia (dari masa ke masa)
Keberadaan uang memberi peran penting dalam setiap kegiatan manusia, baik itu untuk mencukupi kebutuhan primer (sandang, papan, pangan) hingga kebutuhan lifestyle (rekreasi, hiburan, aktualisasi, dll). Bicara tentang uang, maka kita harus membaca sejarah tentang lahirnya kesadaran akan pentingnya sebuah alat tukar menukar (medium of exchanges) atau sarana transaksi jual beli (transaction tools). Tidak ada yang mengetahui secara jelas bagaimana bentuk transaksi yang terjadi zaman pra-peradaban. Kita hanya tahu bahwa cara paling kuno dalam bertransaksi adalah dengan “barter” atau tukar menukar barang/jas dengan barang/jasa yang lain, dimana kedua barang/jasa tersebut diyakini memiliki nilai yang sama. Kemudian uang mulai muncul ketika manusia mulai menyadari akan pentingnya “keadilan” atau “fairness” dalam bertransaksi, yang ditandai dengan menentukan nilai tertentu terhadap mata uang yang berlaku di masyarakat.
Ketika manusia semakin cerdas, maka uang tersebut ditetapkan harus berwujud fisik dan memiliki nilai yang bisa diterima dan digunakan oleh semua orang. Dari pemikiran ini, lahirlah uang yang terbuat dari logam berharga (yang paling terkenal adalah emas dan perak). Mulailah Pemerintah (Raja) menetapkan sistem keuangan untuk memperluas jangkauan kegiatan perdagangan antar negara. Sistem keuangan internasional mulai dikenal pada tahun 1870, dimana saat itu emas merupakan standar dalam menentukan jumlah uang yang bisa dicetak oleh suatu negara. Yang dimaksud disini adalah negara tidak lagi menggunakan mata uang dari logam emas atau perak, melainkan negara mencetak uang kertas (uang kartal) yang mana nilai dari banyaknya uang yang dicetak, harus sama dengan jumlah cadangan emas yang dimiliki negara. Kemudian sistem keuangan ini terus mengalami penyempurnaan seiring adanya faktor-faktor yang berpengaruh pada kestabilan ekonomi dari waktu ke waktu.
I. Sistem Keuangan Standar Emas (Gold Standard)
Sistem keuangan standar emas adalah sistem keuangan yang berdasar pada nilai emas sebagai acuan/patokan, dasar penentuan nilai uang dan nilai tukar mata uang suatu negara terhadap mata uang negara lain. Hakikatnya, nilai mata uang suatu negara, apakah itu berupa uang kertas maupun jenis uang lainnya, nilai mata uang tersebut akan dikaitkan (ditambatkan) secara langsung dengan nilai emas yang dimiliki oleh suatu negara. Sederhananya adalah negara berhak mencetak uang sebanyak-banyaknya sesuai dengan jumlah cadangan emas yang disimpan atau dimiliki oleh negara tersebut.
Sistem standar emas merupakan sistem keuangan yang pertama kali muncul dalam sejarah ekonomi dan keuangan dunia. Pada dasarnya, emas itu sendiri lebih dari 1000 tahun yang lalu, sudah dikenal dan digunakan sebagai mata uang. Awal mula pemikiran menggunakan emas adalah karena secara fisik memiliki wujud dan nilai yang sama di dunia manapun, sehingga uang logam emas mudah diterima dan digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi baik itu transaksi jual beli maupun untuk pengupahan tenaga kerja. Kemudian dalam catatan sejarah, emas digunakan sebagai standar dan sistem keuangan internasional terjadi pada tahun 1821, dimana saat itu, Inggris mulai memperkenalkan dan menerapkan sistem ini ke seluruh dunia. Hingga tahun 1870, masyarakat Eropa mulai menerapkan sistem standar emas secara global. Pada tahun 1879 sistem ini mulai merambah hingga ke Amerika Serikat.
Berakhirnya sistem standar emas mulai terjadi setelah terjadi perang dunia pertama (1914 – 1918). Saat itu banyak cadangan emas yang digunakan untuk membiayai kegiatan perang yang berakibat pada terkurasnya cadangan emas. Akibatnya terjadi inflasi yang tidak terkendali karena Pemerintah terus mencetak uang tanpa didukung oleh jumlah cadangan emas. Kondisi ini diperparah dengan adanya larangan ekspor emas. Terdapat beberapa negara yang mencoba untuk mengulangi sistem standar emas, namun adanya gelombang depresi yang melanda dunia pada tahun 1929, semakin memperparah kondisi perekonomian dunia dengan banyaknya bank-bank yang bangkrut. Puncak berhentinya atau menghilangnya sistem standar emas terjadi pada tahun 1931. Banyak negara yang mulai meninggalkan sistem standar emas dan mulai beralih ke “fiat money” (uang yang diciptakan masing-masing negara berdasarkan undang-undang masing-masing negara) dalam menentukan dasar keuangan negara.
II. Sistem Bretton Woods
Berakhirnya perang dunia pertama membawa dampak buruk yang berkepanjangan terhadap laju perkembangan perekonomian di seluruh negara-negara di dunia. Penerapan sistem standar emas dinilai tidak lagi sesuai dengan kondisi negara setelah perang dunia berakhir. Dengan memburuknya kondisi ekonomi yang dirasakan oleh banyak negara, kemudian mendorong banyak negara mengadakan pertemuan untuk mencari solusi dalam memperbaiki kondisi perekonomian pasca perang, terutama dalam masalah sistem keuangan antar negara.
Amerika termasuk negara yang tidak merasakan dampak krisis tersebut, hal ini disebabkan karena melimpahnya cadangan emas yang dimiliki oleh Amerika. Dengan kondisi perekonomian yang stabil, kemudian Amerika menggagas sebuah pertemuan dengan negara-negara dunia Internasional untuk membahas masalah krisis yang terjadi di Eropa. Pertemuan tersebut dilaksanakan di kota Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat (1944) dan dihadiri oleh perwakilan dari 44 negara di dunia. Dari pertemuan ini kemudian akan menjadi sebuah sejarah tentang terbentuknya sistem baru dalam dunia keuangan internasional menggantikan standar emas. Sistem keuangan dunia yang baru disepakati tersebut diberi nama “Sistem Bretton Woods” atau “Fixed Exchange Rate System”.
Kesepakatan pada “Fixed Exchange Rate System” antara lain:
1. Setiap negara yang terlibat dalam perjanjian, harus menentukan kurs mata uangnya terhadap uang Dollar Amerika (USD) sebagai patokan/acuan atau jangkar.
2. Standar nilai mata uang USD terhadap emas yang disepakati bersama adalah USD 35 per troy ounce emas.
3. Negara-negara anggota harus menerima ketentuan harga emas yang ditetapkan oleh Pemerintah Amerika.
Selain melahirkan kesepakatan Fixed Exchange Rate System, dengan adanya pertemuan Bretton Woods merupakan tonggak sejarah dalam terbentuknya 3 buah lembaga ekonomi internasional yang keberadaannya masih dapat dirasakan hingga saat ini, yaitu.
1. IMF (International Monetary Fund).
2. Bank Dunia (World Bank).
3. ITO (International Trade Organization)
Latar belakang terbentuknya ketiga lembaga tersebut adalah karena adanya keinginan dari seluruh anggota agar tercipta sebuah lembaga yang menjadi pusat kendali terhadap penentuan arah semua kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan perekonomian internasional dan memiliki tujuan untuk menghindarkan dari semua potensi-potensi berbahaya yang mungkin terulang kembali, yang bisa menyebabkan bencana krisis moneter yang mengancam stabilitas perekonomian dunia.
III. Sistem Kurs Mengambang Terkendali
Setelah Sistem Bretton Woods diterapkan, maka pertumbuhan ekonomi meningkat yang ditandai dengan bertambahnya pendapatan negara, perdagangan dunia yang semakin berkembang luas, dan ketersediaan lapangan pekerjaan yang baik. Kembalinya stabilitas ekonomi dunia merupakan puncak sukses dari penerapan Sistem Bretton Woods yang berlangsung hampir selama 20 tahun, sebelumnya akhirnya Sistem Bretton Woods digantikan oleh sistem kurs mengambang terkendali.
Meskipun Sistem Bretton Woods terbukti membawa kemajuan ekonomi, namun penerapan sistem ini mulai mengalami banyak masalah yang kemudian berpengaruh pada tingkat kepercayaan negara-negara terhadap kondisi ekonomi Amerika. Diawali dengan adanya perang Vietnam yang terjadi pada tahun 1960-an, situasi ini merupakan pemicu terjadinya inflasi di Amerika yang mana pada saat itu ditandai dengan upaya Pemerintah Amerika mencetak uang lebih besar dari jumlah cadangan emas yang dimiliki. Karena efek inflasi yang berkepanjangan inilah negara-negara Eropa mulai menarik kembali cadangan emasnya seperti yang termuat dalam perjanjian Bretton Woods. Perubahan sentimen negara Eropa terhadap inflasi di Amerika menyebabkan Amerika harus melepas cadangan emasnya untuk memenuhi tuntutan negara-negara Eropa hingga sistem keuangan Amerika mengalami defisit pembayaran.
Tahun 1972 merupakan tahun dimana Sistem Bretton Woods ditinggalkan. Setelah Sistem Bretton Woods berakhir maka sistem moneter internasional mulai diambil alih oleh IMF yang kemudian lahirlah sistem keuangan baru yang disebut dengan Sistem Kurs Mengambang Terkendali (Managed Floating Rate). Yang dimaksud dengan Sistem Kurs Mengambang Terkendali adalah sebuah sistem keuangan internasional yang merupakan penggabungan antara sistem nilai tukar tetap dan sistem nilai fleksibel. Dengan menerapkan sistem ini maka akan terlihat perubahan nilai tukar yang terus berubah-ubah setiap harinya dan hal ini menunjukkan sebuah respons terhadap aktivitas pasar. Karena sifat yang dinamis inilah maka dibutuhkan sebuah perantara atau Lembaga yang memiliki pengaruh dalam mengendalikan kestabilan pasar terhadap perubahan nilai tukar. Lembaga yang dibutuhkan dalam kegiatan pasar diwakili oleh adanya Bank Sentral (Central Bank).
IV. Sistem Kurs Mengambang Bebas
Akibat dari krisis keuangan tahun 1998, maka Sistem Keuangan mulai bergeser dari Nilai Tukar Mengambang Terkendali menjadi Nilai Tukar Mengambang Bebas. Nilai tukar mata uang suatu negara tidak lagi dikendalikan oleh Bank Sentral, melainkan ditentukan oleh hukum Permintaan dan Penawaran oleh pelaku pasar, baik pelaku Pasar Keuangan maupun Pasar Sektor Riil / Industri. Sejak saat itu faktor yang menentukan nilai tukar mata uang suatu negara ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah:
1. Cadangan Devisa yang dipengaruhi oleh Nilai Ekspor dan Impor suatu Negara
2. Spekulasi atau Sentimen Pelaku Pasar dalam mengantisipasi kondisi ekonomi suatu Negara
Spekulasi pelaku pasar akan menyebabkan titik keseimbangan (equilibrium point) terus menerus berubah sesuai dengan hukum Permintaan dan Penawaran. Jika Permintaan mata uang suatu negara tiba-tiba melonjak tinggi, maka nilai tukar mata uang negara tersebut akan naik. Sebaliknya, jika permintaan atas suatu mata uang rendah, maka nilai tukarnya otomatais akan turun. Dalam kasus nilai tukar karena sentimen pasar, peranan pelaku pasar (Hedge Fund : contonya perusahaan George Soros dari Amerika) sangat dominan dalam menaikkan dan menurunkan nilai tukar mata uang suatu negara.
Nilai tukar mata uang suatu negara dipengaruhi oleh cadangan devisa negara tersebut. Jika negara tersebut merupakan “net importer” atau nilai impor barang dan jasa lebih besar dari nilai ekspornya, maka nilai cadangan devisanya rendah. Akibatnya nilai tukar mata uangnya akan rendah terhadap mata uang negara lain. Sebagai contoh negara kita (Indonesia) mengimpor aneka barang (mulai dari Sepatu, Baja, Textile, HP, Mainan Anak, Bawang Putih, Masker, dll) dari Cina, Indonesia impor Daging Sapi dan Buah dari Australia dan New Zealand, Impor AC, Kulkas, TV, Motor, Mobil dari Jepang dan Korea. Sementara ekspor Indonesia ke negara lain berupa minyak Sawit, Batu Bara, Bahan Mentah Tambang, dan tenaga kerja murah (Babu dan Buruh). Dari sini kita bisa menilai sendiri, mengapa nilai tukar rupiah terhadap Dollar Amerika bisa mencapai Rp 16.000 per 1 USD.
Jadi jangan hanya menyalahkan Pemerintah atas gejolak nilai tukar tanpa anda faham tentang ilmu ekonomi dan keuangan dunia. Mari kita instrospeksi diri dan tidak hanya pandai menyalahkan orang luar. Selama bangsa kita alergi belajar “science & technology”, maka bangsa kita akan terus menjadi bangsa “Net Importer” dan nilai tukarnya akan selalu rendah terhadap mata uang negara lain. Jika bangsa Indonesia kurang demen belajar “science & technology”, maka akan terus menjadi importir segala macam produk teknologi dari negara lain. Dan hanya menjadi pengguna atau konsumen produk-produk asing.