Velocity of Money (VM) adalah istilah dalam ilmu ekonomi untuk mengukur berapa kali dalam 1 tahun uang berpindah tangan dari satu pelaku ekonomi ke pelaku ekonomi berikutnya. Semakin tinggi/besar angkanya, semakin bagus jalan nya perekonomian di suatu masyarakat.
Sebagai ilustrasi, PT. ABC mendapatkan pinjaman dari Bank XYZ sebesar Rp 500 juta pada bulan Januari. Lalu uang tersebut digunakan untuk membeli mobil operasional dari Dealer terdekat. Maka nilai VM = 1. Jika uang yang diterima oleh Dealer digunakan untuk membayar ke Pabrik yg memproduksi mobil, maka nilai VM = 2. Pada awal bulan berikutnya, uang tersebut digunakan oleh Pabrik untuk menggaji karyawannya, maka nilai VM = 3. Setelah menerima gaji, karyawan pergi ke Supermarket untuk membeli kebutuhan rumah tangga, maka uang telah berpindah tangan ke Pemilik Supermarket. Maka nilai VM = 4. Jika Supermarket tersebut menggunakan uang hasil penjualannya untuk membayar Pemasoknya, uang akan berpindah tangan lagi, sehingga nilai VM = 5. Proses ini akan berlangsung terus menerus sepanjang kegiatan ekonomi berjalan normal.
Apa yang terjadi setelah suatu negara menjalankan “Lockdown”? Maka uang yang semestinya berpindah tangan dari satu pelaku ekonomi ke pelaku ekonomi berikutnya, tiba-tiba berhenti. Karyawan yg di-PHK tidak lagi menerima upah. Dealer yang biasanya menjual mobil 10 unit per bulan, tiba-tiba tidak ada penjualan. Jadi kita tahu bahwa efek negatif dari kebijakan “Lockdown” adalah uang yg semula sering berpindah tangan, tiba-tiba menghilang dari peredaran. Semakin lama periode Lockdown, semakin langka uang yang berputar di dalam masyarakat.
Bagaimana ilmu ekonomi memecahkan permasalahan ini? Jika anda pernah mendengar istilah “Quantitative Easing” atau disingkat QE, maka istilah tersebut maknanya adalah menambah jumlah uang beredar dalam sistem ekonomi. Maksudnya apa? Maksudnya, Pemerintah akan mencetak uang atau menambah jumlah uang beredar di masyarakat. Tentu saja melalui Bank Sentral sbg lembaga yg mempunyai wewenang untuk menerbitkan /mencetak uang.
Dengan tambahan uang tunai di tangan, Pemerintah akan menggunakan uang tersebut untuk menjalankan berbagai program kerja (BLT, Kartu Pra Kerja, Subsidi Listrik, Biaya Kesehatan, bagi-bagi sembako, dll). Dengan adanya kebijakan “Quantitative Easing” ini, maka uang yg tadinya langka atau hilang dari tangan masyarakat, menjadi ada lagi dan ekonomi bisa berjalan kembali. Hal ini bisa diukur dengan melihat angka Velocity of Money (VM) meningkat lagi.
Apakah kebijakan QE ini tidak ada efek samping nya?
Jelas ada dong. Setelah krisis dilewati, maka jumlah uang beredar menjadi bertambah banyak, maka konsekuensinya, harga-harga barang atau asset akan naik. Itulah yang disebut inflasi (too much money, chasing too few goods). Siapa yang akan menderita ketika angka inflasi tinggi? Jawabnya: karyawan/buruh dengan penghasilan tetap (fix), karena akan tergerus daya belinya. Itulah sebabnya, dalam kondisi normal, inflasi tinggi tidak disukai karena inflasi tinggi ibarat perampok yg mengambil uang atau daya beli uang kita, tanpa kita bisa menghindarinya.
Siklus ekonomi seperti ini akan terus terjadi setiap periode waktu tertentu, hanya triger atau pencetusnya berbeda-beda. Kali ini, triger-nya adalah “Corona Virus”.