Perempuan dalam Tradisi Kristen dan Islam

(by Prof. Sumanto Al Qurtuby – dosen Antropologi)

Di negara manapun di dunia ini (baik negara yang sudah maju maupun belum maju), cerita dan sejarah perempuan di bidang pendidikan selalu tidak mengenakkan: penuh dengan perjuangan heroik “kaum hawa” untuk menuntut hak-hak fundamental mereka, yang dirampas oleh “bani Adam”. Dalam sejarah umat manusia, “rezim Islam” (rezim politik maupun “rezim agama”) bukan satu-satunya yang menjadi penghalang bagi kemajuan kaum perempuan. “Rezim Kristen” (rezim politik maupun “rezim agama”) juga sama. Sejarah perempuan dalam tradisi Kristen tidak jauh berbeda dengan Islam.

Sudah tidak asing lagi jika kedua agama besar yang jumlah pengikutnya banyak di jagat raya ini, dalam sejarahnya sama-sama kurang memberi apresiasi positif terhadap kaum perempuan. Ada banyak karya akademik, baik dalam Kristen maupun Islam, yang mengulas fenomena ketidakberuntungan kaum perempuan, baik di bidang pendidikan maupun di bidang peran publik (sebagai aktor politik misalnya atau sektor keagamaan seperti peran perempuan dalam kependetaan atau keulamaan). Sebagaimana dalam Islam seperti yang nanti akan saya uraikan, Kristen juga dalam sejarahnya sangat membatasi peran perempuan dalam memimpin ritual-ritual keagamaan. Mereka harus jungkir balik memperjuangkan hak-hak kekristenan mereka di hadapan jamaah laki-laki sampai akhirnya dengan cukup gemilang mampu membawa kaum perempuan ke “level” yang setara dengan laki-laki.

== Tulisan tentang perjuangan perempuan Kristen tidak saya kutip, karena panjang banget ==

Sekarang kita beranjak ke Islam: bagaimana agama ini menempatkan kaum perempuan. Harus kita akui dengan jujur, di antara sekian masalah dunia Islam yang menjadi sorotan publik internasional dewasa ini adalah perempuan. Dewasa ini, negara-negara mayoritas bergama Islam tidak hanya disorot mengenai masalah hak asasi manusia (human rights), demokratisasi yang menyangkut kebebasan pers (free press) dan kemerdekaan sipil (civil liberties) lain tetapi juga masalah tidak adanya penghargaan, penyadaran dan pemberdayaan terhadap perempuan. Lembaga survey terkemuka di Amerika, Freedom House, yang setiap tahun mengadakan “laporan tahunan” (annual report) mengenai perkembangan demokratisasi di berbagai belahan dunia menunjukkan dengan kuat fakta lemahnya penegakan prinsip-prinsip demokrasi di dunia Islam termasuk menyangkut masalah perempuan.

Ada satu buku memikat yang ditulis Erika Friedl. Judulnya, Women of Deh Koh (“Perempuan Deh Koh”). Buku ini merupakan hasil laporan antropologis penulis tentang sekelompok perempuan pedesaan Iran sejak berdirinya Republik Islam Iran pada tahun 1979. Buku ini menampilkan beberapa kisah tragis yang menggambarkan bagaimana para perempuan ini berjuang menyambung hidup. Ada satu kisah yang sangat memilukan mengenai pemerkosaan atas perempuan desa. Bukan saja pemerkosanya tidak dihukum mati tetapi bahkan sang perempuan yang justru dibebani oleh kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki itu. Karena ia tidak lagi perawan, harapan “terbaiknya” adalah agar si pemerkosa menikahinya. Perempuan tersebut menolak keputusan yang merendahkan martabat ini, dan akhirnya ia memilih jalan bunuh diri. Bunuh diri dianggap sebagai “jalan terbaik” untuk melepaskan diri dari “memoria passionis” (ingatan penderitaan) dan trauma yang berkepanjangan. Tragedi atas perempuan ini tentu saja tidak hanya terjadi di Iran saja tetapi hampir di semua negara berbasis Islam seperti dapat kita lihat dalam karya-karya akademik yang ditulis sejumlah feminis Muslim seperti Amina Wadood, Fatima Mernissi, Kecia Ali, Rifaat Hasan, Leila Ahmed, Asma Barlas, Asma Asfaruddin, Musdah Mulia, dan masih banyak lagi.

Sesungguhnya sikap misoginis (pandangan sinisme terhadap perempuan) ini bukanlah fenomena baru dalam sejarah peradaban manusia. Sudah ratusan bahkan ribuan tahun, perempuan tidak pernah menikmati kebebasan dan perlakuan proporsional dari kaum lelaki. Mereka selalu hidup dalam aura diskriminasi, selalu menjadi obyek penindasan, tidak pernah diberi kesempatan untuk tampil ke panggung publik sebagai agen sejarah sebagaimana laki-laki. Akibatnya, sejarah perempuan seperti halnya sejarah kaum sempalan (splinter) yang selalu berada di “edge of history”—menjadi kelompok pinggiran yang terhempas dari percaturan wacana global yang memang didominasi kaum laki-laki. Kata “history” dan bukannya “herstory” itu sendiri sudah menunjukkan dominasi (sekaligus hegemoni) laki-laki atas perempuan itu.

Meskipun sejarah juga menampilkan berbagai tokoh perempuan cemerlang yang turut mengayunkan tombak logos tetapi masyarakat lelaki menganggap mereka sebagai “exceptional” belaka. Lebih celaka lagi, sikap diskriminatif itu mendapatkan “landasan teologis” melalui teks suci (holy scripture). Hampir semua teks-teks keagamaan mengandung watak diskriminasi terhadap perempuan (baca, misoginis). Islam sebagai “agama terakhir” dalam tradisi Semit juga mewarisi watak misoginisme yang sudah mapan dalam tradisi kuno pra Islam. Maskulinisasi epistemologi sudah berlangsung lama di kawasan Timur Tengah. Jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan, dunia epistemologi sudah dipengaruhi kosmologi, mitologi dan peradaban kuno yang cenderung misoginis di kawasan ini seperti kosmologi Mesir Kuno di Selatan, mitologi Yunani Kuno di Barat, tradisi Yahudi-Kristen (Judeo-Christianity) di sepanjang Laut Merah, dan peradaban Sasania-Zoroaster di Timur yang berpusat di Ktesipon, Mesopotamia. Citra perempuan di kawasan ini sangat buruk.

Beberapa mumi perempuan di temukan di Mesir menggunakan celana dalam besi yang digembok dan bersepatu besi yang berat dan berukuran kecil untuk membatasi perjalanan perempuan. Mitologi Yunani menggambarkan perempuan sebagai iblis betina (female demon) yang selalu mengumbar nafsu. Tradisi Yahudi-Kristen memojokkan perempuan sebagai penyebab dosa warisan dalam drama kosmik. Peradaban Sasania-Zoroaster mengisahkan tentang penyembunyikan kaum perempuan dalam goa-goa gelap yang jauh dari perkampungan. Peradaban Hindu yang membakar hidup-hidup para istri di samping suaminya yang meninggal, dan seterusnya.

Dalam setting sejarah seperti yang saya paparkan diatas itulah, Islam hadir. Sebagai negeri kontinental, tidak sulit mencari jejak persentuhan (encounters) antara dunia Arab dengan peradaban-peradaban tersebut. Kota Mekkah dan Yatsrib (Madinah) sudah menjadi pusat perdagangan bebas dan merupakan urat nadi rute perdagangan di kawasan Samudra Hindia, termasuk Pantai Afrika, Laut Tengah dan tentu saja dengan Irak yang ketika itu menjadi bagian dari Kerajaan Persia. Tradisi intelektual Arab juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah klasik Mesopotamia (3500-2400 SM) yang letaknya bersebelahan dengan Jazirah Arab. Mesopotamia dianggap sebagai titik tolak sejarah peradaban dan kebudayaan manusia. Sekitar tahun 1800 SM muncul seorang tokoh berwibawa bernama Hamurabi yang membuat peraturan-peraturan hukum yang kemudian disebut Kode Hamurabi. Ketentuan-ketentuan khusus yang membatasi perempuan sudah mulai diterapkan di sini. Kode ini telah banyak memberikan inspirasi di dalam institusi hukum generasi berikutnya di kawasan itu.

Demikianlah, karena itu tidak heran jika hampir semua tradisi agama memandang remeh terhadap perempuan, tak terkecuali Islam. Banyak kita lihat teks-teks skriptural Islam kurang memberikan ruang proporsional terhadap perempuan baik di bidang perdata maupun pidana. Bahkan dari aspek bahasa, teks-teks keislaman itu sendiri sudah “diskriminatif.” Feminis muslim, Nasaruddin Umar, telah menunjukkan dengan baik bagaimana bahasa Arab yang bias gender ini. Memang harus diakui teks-teks utama Islam (Al-Qur’an & Hadis) tidak semuanya berisi pesan yang mendiskreditkan perempuan.

Banyak kita jumpai teks-teks keislaman yang menjunjung tinggi martabat perempuan. Prinsip “takrim” (baca, orang yang mulia di sisi Allah adalah mereka yang bertakwa tanpa memandang jenis kelamin), jelas merupakan wawasan tentang “gender setara” yang ingin diidealisasikan Al-Qur’an. Begitu pula teks “surga berada di telapak kaki ibu” juga merupakan bagian dari pemuliaan terhadap kaum perempuan. Hanya saja, prinsip-prinsip ideal ini kalah populer dan tenggelam oleh teks-teks lain yang secara tekstual/literal menyudutkan perempuan seperti konsep waris, saksi, kepemimpinan dan lain-lain.

Inilah fakta ambiguitas teks-teks utama skriptural Islam (Al-Qur’an dan Hadits): satu sisi berisi pesan universal mengenai kebebasan, keadilan dan kesetaraan tetapi di pihak lain juga memuat ajaran-ajaran yang “menomerduakan” perempuan. Tidak jarang, teks-teks “juxta posisi” dan “ambigu” ini telah menyebabkan para pemikir Muslim terperangkap ke dalam pemahaman yang kabur dan “setengah hati” mengenai prinsip kesetaraan dan keadilan terhadap perempuan. Bahkan pemikir moderat sekaliber Muthahari dari Iran pun juga terperangkap ke dalam pemahaman bahwa perempuan semata-mata sebagai “mahluk seksual” seperti dituturkan oleh Abdelwahab Bouhdiba dalam Sexuality in Islam. Hal yang sama (baca, pandangan “bias gender”) juga kemukakan oleh sejumlah “pemikir modernis” seperti Rashid Rida dari Mesir atau Sayyid Ahmad Khan dari Indo-Pakistan seperti dituturkan oleh Muhammad Qasim Zaman dalam Modern Islamic Thought in a Radical Age. Prinsip equality and justice yang ditanamkan Al-Qur’an semakin tenggelam dalam limbo sejarah setelah lahirnya buku-buku tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab keislaaman klasik yang hampir bisa dipastikan bias gender.

Berkaitan dengan masalah ini, ada satu pertanyaan mendasar: bagaimana menjelaskan teks-teks Al-Qur’an yang “ambigu” (baca, bermuatan ganda) ini? Di sinilah, perspektif pemikir Islam modern dari India, Asghar Ali Engineer, patut diapresiasi. Dalam salah satu karyanya, The Rights of Women in Islam, Engineer telah mengonstruksi tafsir Al-Qur’an secara menarik. Menurutnya, Al-Qur’an mempunyai dua aspek: normatif dan kontekstual (mungkin tepatnya, sosiologis). Yang dimaksud dengan aspek normatif adalah menyangkut sistem nilai dan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an seperti prinsip persamaan, keadilan dan kesetaraan. Prinsip ini bersifat eternal dan dapat diaplikasikan dalam berbagai konteks ruang dan waktu. Inilah prinsip-prinsip idealitas Al-Qur’an. Sedangkan aspek kontekstual (sosiologis) berkaitan dengan ayat-ayat yang diturunkan untuk merespons problem-problem sosial tertentu pada masa itu. Jadi sifatnya ad hock dan partikular. Sesuai dengan perkembangan zaman, ayat-ayat ini bisa dihapus (contohnya tentang perbudakan).

Dilihat dari perspektif normatif, Al-Qur’an jelas menegakkan prinsip persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Ia mendorong ide kesetaraan gender. Tetapi jika dilihat dari perspektif kontekstual-sosiologis, tidak jarang Al-Qur’an mendudukkan laki-laki satu tingkat di atas perempuan. Tujuan pembedaan antara ayat ideal-normatif dan kontekstual-sosiologis adalah untuk mengetahui perbedaan antara apa yang sebenarnya diinginkan “The Author” (Allah SWT) dan apa yang dibentuk oleh realitas masyarakat pada saat itu. Dua-duanya merupakan kekayaan Al-Qur’an.

Sebab “teks suci” ini tidak hanya berbicara tentang masyarakat ideal tetapi juga mempertimbangkan realitas empiris masyarakat (waktu itu). Dialektika antara das sollen dan das sain membuat Al-Qur’an dapat diterima oleh masyarakat dalam konteks sosial tertentu tempat ayat-ayat tersebut diturunkan, dan juga dapat dijadikan sebagai rujukan norma-norma dan prinsip-prinsip universal yang dapat diberlakukan di masa datang ketika realitas masyarakat lebih kondusif. Engineer menyebut pendekatan ini sebagai “ideologis-pragmatis.”
Penjelasan Engineer ini setidaknya bisa menguraikan “benang ruwet” teks-teks ambigu dalam Al-Qur’an. Dalam perspektif ini, maka seharusnya umat Islam menyikapi teks-teks Al-Qur’an seperti sistem waris, konsep saksi, poligami, imamah atau kepemimpinan dan lain-lain sebagai ayat-ayat ad hock dan particular yang sangat terkait dengan latar sosiologis masyarakat Arab saat itu. Dan karena itu tidak mengikat umat Islam dewasa ini karena perbedaan setting sosio-kultural masyarakat.

Bahkan sudah seharusnya, “ayat-ayat partikular” ini di-“delete” dari memori Al-Qur’an karena sudah out of date. Sementara ayat tentang “penciptaan manusia dari esensi yang sama” (Q.S. 4:1), “pemuliaan anak-anak Adam” (Q.S. 17:70), serta “pemberian pahala bagi yang bertakwa tanpa memandang laki-laki atau perempuan” (Q.S. 33:35) harus dijadikan sebagai basis membangun relasi gender setara (egalitarianisme). Ayat-ayat ini merupakan simbol deklarasi kesatuan manusia dan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Inilah “revolusi kebudayaan” yang luar biasa yang dilakukan Al-Qur’an. Mengingat prinsip ini hadir di tengah kultur dan tradisi Arab yang mesoginis. Sayang, umat Islam lebih bergairah mereproduksi “ayat-ayat particular” yang sudah kedaluarsa ketimbang memperjuangkan visi universal Islam.

Dalam paragraf di atas, saya, antara lain, telah mengemukakan tentang pentingnya memilah-milah “ayat-ayat partikular” dan “ayat-ayat universal” dalam memahami Al-Qur’an khususnya yang berkaitan dengan masalah perempuan. Hal ini dimaksudkan agar umat Islam bisa membedakan mana “doktrin” Islam dan mana yang hanya sebatas “tradisi” masyarakat Arab dan Judeo-Christianity. Persoalan ini penting untuk diketahui sebab selama ini umat Islam telah mencampuradukkan antara doktrin dan tradisi dengan sembrono. Tidak sedikit yang tradisi itu dianggap dan dijadikan sebagai doktrin keislaman karena dinilai mendatangkan “keuntungan” tersendiri terutama bagi kaum laki-laki muslim. Maka, kita lihat dalam sejarah rezim-rezim Islam, kaum perempuan nyaris tidak mendapatkan tempat proporsional baik dalam wacana keislaman maupun dalam praktek kehidupan mereka.

Padahal jika kita teliti dengan seksama, beberapa “ajaran” yang dinilai (tepatnya, diyakini) oleh rezim Islam sebagai doktrin itu tidak lebih hanyalah sebatas tradisi masyarakat Arab belaka. Poligami, jilbab, perempuan dilarang memimpin jabatan publik, jatah warisan yang hanya separuh laki-laki, dan sejumlah “norma” yang menyangkut perempuan lain dalam hukum pidana maupun perdata yang mengesankan diskriminasi adalah bagian dari tradisi Arab dan Judeo-Christianity itu yang sengaja “diakomodasi” Al-Qur’an sebagai sebuah strategi kebudayaan untuk memperkenalkan ajaran baru Islam kepada masyarakat Arab jaman itu. Tetapi karena umat Islam tidak mampu memilah (mengverifikasi) antara doktrin dan tradisi, akibatnya, dalam implementasi/praktek keislaman tidak jarang terjadi apa yang saya sebut sebagai “clash of culture” (benturan kebudayaan) ketika agama Islam telah merangkak jauh melampaui batas-batas teritorial Jazirah Arab. Benturan kebudayaan ini merupakan konsekuensi logis akibat perjumpaan dua atau lebih tradisi yang berlainan.

Memang melakukan pemilahan “doktrin” dan “tradisi”, menurut Marshall Hodgson dalam bukunya The Ventures of Islam antara “Islam” dan “Islamicate” ini bukan persoalan mudah. Mengingat keduanya sudah membaur menjadi satu teks dalam Al-Qur’an yang suci (tepatnya “disucikan”) dan sakral (tepatnya, “disakralkan”). Baik yang “doktrin” maupun yang “tradisi” sama-sama dianggap sebagai “Firman Allah”. Inilah antara lain yang menjadi masalah mendasar mengapa setiap upaya penafsiran emansipatoris atas perempuan dalam Al-Qur’an selalu mengalami jalan buntu. Baik kubu “liberal” (baca, kelompok yang memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender) maupun “konservatif” (baca, pendukung perempuan sebagai “subordinat” laki-laki), sama-sama mengklaim “melaksanakan ajaran Tuhan.” Ini artinya, baik yang feminis maupun yang mesoginis sama-sama mendapatkan justifikasi (dalil pembenaran) dalam Al-Qur’an.

Bagaimana menjelaskan fenomena ini? Bagi saya, jalan terbaik adalah dengan cara melakukan pembongkaran atau dekonstruksi atas sejumlah ayat yang merupakan “produk lokal” (baca, tradisi) masyarakat Arab tadi. Al-Qur’an harus ditangkap sebatas “semangat/spirit” saja bukan dalam hal pernik-pernik yang terkait dengan tradisi dan kultur lokal Jazirah Arab. Sebab jika kita memaksakan untuk mempraktekkan yang lokal itu ke dalam perspektif kehidupan kita sekarang di Indonesia, maka akan terjadi semacam internal dissension (“ketegangan internal”) umat Islam karena bertabrakan dengan modern human dignity (hak-hak dasar dan fundamental manusia modern).

Berkaitan dengan ini, menarik memperhatikan pendapat mendiang Nasr Hamid Abu-Zayd, intelektual Islam dan ahli tafsir terkemuka Mesir yang dulu diusir dari negaranya karena dituduh murtad yang kemudian mengajar di Universitas Leiden, Belanda, sebelum wafat. Nasr Hamid Abu-Zayd berpendapat bahwa Al-Qur’an harus ditempatkan tidak hanya sebagai teks atau Mushaf tetapi juga sebagai “wacana”. Al-Qur’an adalah hidup dan merupakan fenomena yang dinamis dan efektif dalam kehidupan keseharian umat Islam. Posisi itulah yang tidak mampu dijangkau oleh Mushaf sebagai sekumpulan teks mati. Jadi, kita memiliki dua fenomena tentang Al-Qur’an: Al-Qur’an sebagai fenomena yang dinamis dan Mushaf sebagai fenomena teks. Dalam Mushaf, yang penting adalah teks itu sendiri. Sementara yang menjadi titik perhatian jika menempatkan Al-Qur’an sebagai wacana adalah soal kenyataan (al-waqi’). Dalam fakta sejarah selama 23 tahun proses pewahyuan, Al-Qur’an merupakan fenomena yang dinamis, dialogis, debat-sanggah dan mengikuti mekanisme take dan give.

Memposisikan Al-Qur’an lebih sebagai wacana ketimbang mushaf yang mati merupakan gagasan yang patut diapresiasi agar Al-Qur’an tetap “hidup” dan up to date. Lebih dari itu, gagasan ini dimaksudkan agar umat Islam tidak kehilangan konteks kesejarahan saat Al-Qur’an diturunkan. Pemahaman seperti ini penting agar umat Islam mengetahui akar-akar sosio-historis sebuah teks/ayat Al-Qur’an. Maka, jika kita mempelajari latar belakang sejarahnya (historical background) atas ayat-ayat perempuan dalam teks Al-Qur’an yang terkesan mesoginis itu, maka kita akan segera tahu bahwa sesungguhnya hanyalah semacam siasat atau “sasaran antara” Al-Qur’an saja yang tujuan utamanya adalah pencapaian kehidupan yang egaliter antara laki-laki dan perempuan.

Kita tahu dalam tradisi Arab yang patriarkhis dan mesoginis, perempuan sama sekali tidak mendapatkan tempat yang layak baik dalam kehidupan publik maupun domestik: tidak mendapat warisan, tidak diakui hak-hak politiknya sebagai bagian dari anggota masyarakat suku, dan harus bersedia kapanpun dan dimanapun untuk menjadi pemuas nafsu laki-laki. Dalam konteks/perspektif tradisi atau kebudayaan masyarakat Arab demikian, maka ayat tentang waris di mana laki-laki mendapat 2 bagian sementara perempuan mendapat 1 bagian, atau diakuinya perempuan menjadi saksi (meskipun 3:1) maupun pembatasan poligami menjadi 4 saja, merupakan sebuah revolusi kebudayaan yang luar biasa dalam konteks masyarakat Arab, 15 abad yang lalu! Itulah sebabnya sejumlah pemikir muslim berpendapat bahwa Islam (Al-Qur’an) dari segi ide/gagasan sangat revolusioner sementara dari aspek strategi mengikuti prinsip gradual (evolutif).

Al-Qur’an harus menggunakan prinsip gradual dalam memperkenalkan konsep normatifnya. Sebab jika tidak, maka eksistensi Islam sebagai “agama baru akan terancam dan tidak mendapatkan pengikut” karena mengembangkan isu-isu yang tidak populer dan berlawanan dengan tradisi atau kebudayaan (mainstream) masyarakat Arab waktu itu. Prinsip akomodasi Al-Qur’an ini juga merupakan konsekuensi logis mengingat Al-Qur’an diturunkan dalam masyarakat yang sudah syarat dengan ikatan-ikatan primordial dan norma ke-Arab-annya. Karena itu, ada pola dialektika tersendiri bagaimana kitab suci “menyesuaikan” dirinya dengan nilai lokal. Berangkat dari perspektif inilah, dalam Islam mengenal beberapa prinsip (siasat/strategi) dalam proses tasyri’. Prinsip dimaksud, berangsur-angsur dalam memperkenalkan konsep normative, dan menghilangkan ketegangan atau kesulitan, dan sedikit demi sedikit (gradual).

Dalam kerangka atau bingkai pemahaman seperti inilah seharusnya teks-teks tentang perempuan itu ditempatkan. Bukan malah menggunakan dalil ( serta dalih ) menjalankan ajaran syari’at kemudian melakukan penindasan terhadap perempuan seperti yang dipraktekkan sejumlah rezim Islam. Sayang, upaya penajaman visi universal Al-Qur’an yang memperjuangkan emansipasi perempuan kurang terelaborasi dalam khazanah keislaman klasik kita. Tidak banyak dari para pemikir muslim klasik yang secara terang-terangan mendukung ide keadilan dan egalitarianisme atas perempuan. Di antara yang sedikit itu adalah Ibnu Rusyd yang telah berjuang total membela hak-hak perempuan dan minoritas lain. Tapi sayang karya-karya Ibnu Rusyd ini kurang populer di dunia Islam meskipun masyhur di Barat.

Kurangnya apresiasi gender setara dalam khazanah klasik Islam karena sejarah penulisan kitab-kitab kuning (classical sources) baru dimulai ketika kekuasaan Islam berada di Damascus (sekarang Syiria). Kita tahu peta Damascus sangat dipengaruhi kekuatan-kekuatan kultur Yunani-Yahudi, karena daerah ini pernah menjadi wilayah jajahan Bizantium-Romawi. Jadi kontaminasi kultur lokal, Hellenisme dan budaya Yunani yang misoginis sangat kuat dalam masyarakat Damascus waktu itu. Produksi kitab kuning ini mengalami masa puncak saat kekuasaan Islam pindah ke Baghdad di masa Abbasyiah. Di sini, pengaruh Hellenisme juga sangat kuat demikian juga dengan tradisi besar lain seperti Persia yang juga misoginis.
Kalangan feminis modern juga kerepotan dalam mensosialisasikan ide-ide “gender setara”. Kalaupun bisa hanya sebatas “wacana” tidak sampai pada tingkat implementasi. Kesulitan itu disebabkan oleh beberapa hal:
1) struktur dan kultur masyarakat kita yang “terlanjur” menempatkan perempuan sebagai kelas dua.
2) Teks-teks keislaman yang bias gender itu sudah menjadi bagian dari “kebudayaan” masyarakat muslim.
3) Tantangan dari kaum laki-laki (atau bahkan perempuan sendiri) yang tidak menginginkan prinsip gender setara diterapkan di masyarakat dalam semua ranah kehidupan.

Karena itulah perjuangan terhadap kaum perempuan harus melalui dua jalur: pembongkaran di tingkat wacana keagamaan, yakni teks-teks scriptural Islam (terutama tafsir dan fiqih yang masih terkesan diskriminatif dan bias gender) dan kemudian pembongkaran di tingkat struktur normatif masyarakat yang masih bias dalam memandang pola relasi laki-laki dan perempuan. Tanpa pembongkaran di dua wilayah ini, maka saya rasa usaha kaum feminis untuk menegakkan prinsip gender setara hanya tinggal mimpi belaka.

Sebagai penutup tulisan pendek ini, saya ingin menegaskan bahwa upaya membangun dunia pendidikan Islam yang berprinsip “gender setara” baru bisa dilakukan secara maksimal jika kaum Muslim mampu “melampaui” teks-teks dan diskursus keislaman klasik yang sarat “gender bias” itu untuk kemudian ditafsirkan, diberi makna dan spirit baru, dan diterjemahkan ke dalam konteks dunia modern. Upaya ini perlu keberanian dan gerakan revolusi pemikiran dari para sarjana Muslim. Di Amerika, seperti saya paparkan diatas, kaum perempuan dewasa ini yang mampu menikmati kesetaraan di berbagai bidang kehidupan tidak lepas dari upaya-upaya berani kaum feminis Kristen untuk menafsirkan (dan “mendekonstruksi”) teks, dogma, doktrin, tradisi, dan diskursus kekristenan yang dipandang menghambat kemajuan serta menghalangi prinsip “gender setara”.

Kesetaraan gender di Amerika dan dunia Kristen Barat pada umumnya juga buah dari perjuangan tanpa kenal lelah dari kaum feminis Kristen, baik laiki-laki maupun perempuan, dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaum perempuan di berbagai sektor kehidupan.
Seminar tentang “Islam dan Gender” ini harus diupayakan ke arah sana: dekonstruksi ajaran, doktrin, teks, tradisi, dan wacana keislaman klasik yang dipandang “tidak kompatibel” dengan semangat keindonesiaan dan kemodernan. Setelah melakukan dekonstruksi, kemudian diperlukan upaya-upaya terobosan dan berani untuk melakukaan “rekonstruksi” idealitas keislaman yang sesuai dengan norma-norma dan situasi sosiologis kontemporer umat Islam dewasa ini.

One thought on “Perempuan dalam Tradisi Kristen dan Islam

  1. Bukanlah suatu penghalang bagi kemajuan bagi kaum hawa. Rezim Kristen, Rezim Politik maupun Rezim Islam tidak jauh berbeda.

    Makasih

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.