Perencanaan Keuangan

Perencanaan Keuangan (seberapa penting bagi kita semua?)

Seorang Coach (Pelatih/Pembina) di YouTube menjelaskan tentang perbandingan angka 5:15:80 sebagai rumusan yang menjelaskan bahwa pada usia senja (di Amerika berarti di atas 65 tahun), 5% manula tetap kaya hingga hari kematiannya, 15% tidak kaya namun mampu memenuhi kebutuhan finansialnya sendiri (dari tabungan, dana pensiun, atau dari investasi), dan 80% manula akan tergantung pada negara, anak, keluarga atau masyarakat sekitarnya. Apakah perbandingan ini benar (masuk akal) atau hanya didramatisir untuk memberi kesadaran pada para pemirsanya? Kita tidak tahu dengan pasti sebelum ada survey resmi dari lembaga yang kredible. Namun satu hal yang pasti adalah di Negara Maju, lembaga dana pensiun (yang bertugas mengelola tabungan para pekerja) jauh lebih baik ketimbang di negara berkembang seperti Indonesia, sehingga lebih banyak orang yang memiliki tabungan berupa dana pensiun yang bisa mendudukung kebutuhan keuangannya di usia senja.

Sementara di Indonesia, hanya ASN (dulu PNS) dan beberapa perusahaan besar (seperti BUMN) yang memiliki tabungan dana pensiun bagi karyawannya (itupun nominalnya jauh dibawah kebutuhan hidup bulanan para pensiunan). Pemerintah mulai sadar akan pentingnya lembaga dana pensiun yang bisa melayani semua pekerja (tidak hanya ASN/PNS) termasuk mereka yang bekerja di sektor informal (para pedagang dan pekerja lepas). Namun nampaknya program pensiun yang diamanatkan pada BPJS ini masih jauh dari memadai untuk mewujudkan cita-cita mulia tersebut. Jadi bisa dikatakan bahwa rasio angka 5:15:80 yang ditulis di paragraf pertama berlaku untuk lingkungan masyarakat Indonesia (80% manula secara finansial bergantung pada orang lain untuk membiayai dirinya).

Pertanyaan yang mulai harus dipikirkan adalah “sudahkah kita semua merencanakan kebutuhan finansial untuk usia senja nanti?”. Biasanya banyak alasan (excuse) mengapa orang tidak merencanakan kebutuhan finansial untuk hari tuanya. yang sering saya dengar adalah “rejeki sudah ada yang mengatur”. Memang betul rejeki sudah ada yang mengatur, pada saat kita menjadi karyawan, yang mengatur rejeki kita adalah atasan atau majikan kita (Saya pernah menjadi atasan yang mengatur persentase kenaikan gaji karyawan). Bagaimana kalau kita sudah tidak bekerja lagi? Apakah mantan atasan atau mantan majikan masih mau mengatur rejeki kita? Ada yang menyanggah kalimat tersebut dengan mengatakan, “Tuhan lah yang mengatur rejeki, bukan manusia”. Jawaban tersebut juga betul, masalahnya Tuhan tidak pernah menjatuhkan uang di dalam karung di halaman rumah kita. Manusia tetap harus berusaha dan rejeki dari Tuhan dilewatkan melalui manusia lain (atasan, majikan, Anak, Saudara, Teman, Pelanggan, dll).

Silahkan diamati sendiri di sekitar kita, apakah ada teman-teman anda yang belum genap 65 tahun sudah gali lubang tutup lubang untuk membiayai hidupnya? Jika anda sudah menemukan contoh nyata, silahkan direnungkan, apa yang bisa anda lakukan (hari ini) agar supaya nanti ketika tenaga anda sudah tidak laku dijual di pasar tenaga kerja, anda tidak menjadi bagian dari angka 80% tersebut?

Sekian artikel singkat ini, semoga bermanfaat bagi yang membacanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.