Upah Buruh & Bunga Kredit

Bagaimana ilmu ekonomi klasik yang dikembangkan oleh Adam Smith pada abad 17, bisa menjelaskan fenomena upah buruh yang rendah dan tingkat suku bunga kredit yang tinggi di Indonesia? Teori ekonomi Adam Smith mudah difahami karena cukup menggunakan hukum penawaran dan permintaan (seringkali disebut invisible hand), bisa menjelaskan beberapa fenomena ekonomi. Harga suatu barang/jasa di pasar terbentuk melalui keseimbangan antara penawaran dan permintaan, dengan catatan faktor-faktor lainnya tidak berubah (ceteris paribus). Bagaimana harga suatu tenaga kerja dan harga suatu dana (modal) ditentukan oleh “invisible hand” menurut Adam Smith?

Catatan:
1. Harga suatu tenaga kerja diukur dengan satuan upah (wage rate)
2. Harga suatu modal (dana) diukur dengan tingkat suku bunga (interest rate)
3. Hukum penawaran – permintaan: Jika permintaan suatu barang/jasa tinggi sedangkan ketersediaannya terbatas, maka harga barang/jasa tersebut akan naik.
Sebaliknya, jika ketersediaan barang/jasa berlimpah, sementara permintaan terbatas, harga barang/jasa akan turun (rendah).

Angka pengangguran yang tinggi di Indonesia, disebabkan karena jumlah tenaga kerja (populasi usia produktif) yang tinggi dibandingkan dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2019, jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa. Karena setiap orang memiliki kebutuhan dasar yang sama (sandang, papan dan pangan), maka tenaga kerja di Indonesia bersedia menerima upah rendah untuk memenuhi kebutuhan dasar tersebut. Jika tenaga kerja Indonesia tidak bersedia menerima upah rendah, masih banyak orang lain yang membutuhkan pekerjaan tersebut. Meskipun pemerintah melakukan intervensi politik dengan membuat aturan upah minimum, tetap tidak bisa memenuhi harapan pekerja, sebab jika upah minimum dikerek naik dan dirasakan memberatkan pengusaha (penyedia lapangan kerja), maka pengusaha akan mencari jalan keluar dengan memindahkan lokasi usahanya ke negara lain atau mengganti tenaga buruh dengan mesin-mesin (robot) yang tidak menuntut kenaikan upah.

Tingkat suku bunga kredit yang tinggi di Indonesia, disebabkan karena supply capital (dana) rendah dibandingkan dengan permintaannya.
Kemampuan menabung orang Indonesia masih rendah (dampak langsung dari upah buruh rendah), sehingga secara aggregat, berdampak pada akumulasi penyediaan
capital (dana) oleh industri perbankan juga rendah. Di negara maju, ketersediaan dana (tabungan) berlimpah, sehingga industri perbankan hampir tidak memberi bunga atas tabungan nasabah di bank (kecuali deposito, baru mendapatkan bunga). Jika perbankan mendapatkan dana berlimpah tanpa membayar bunga, maka perbankan juga akan mengenakan suku bunga kredit yang rendah kepada debitor yang membutuhkan kredit (pinjaman) untuk membeli rumah, mobil, investasi pabrik dan mesin-mesin, dll. Fungsi bank sebagai lembaga intermediasi (menyalurkan dana dari masyarakat yang surplus dana kepada masyarakat yang defisit dana), berjalan dengan baik, dengan selisih bunga pinjaman dan bunga deposito tidak terlalu lebar. Jika suku bunga kredit rendah, maka banyak pengusaha yang berminat memperluas kapasitas produksinya untuk meningkatkan penjualan. Jika kapasitas produksi meningkat, kebutuhan tenaga kerja juga meningkat. Sehingga ada hubungan antara suku bunga dengan jumlah pengangguran. Semakin tinggi suku bunga kredit, semakin tinggi tingkat pengangguran.

Ilmu ekonomi mikro bisa menjelaskan, mengapa upah buruh (wage rate) di Indonesia rendah? Sebagai contoh, upah minimum wilayah Jawa Tengah Rp 2,3 juta/bulan, sementara di Australia, upah minimum AUD 22 per jam (Rp 220.000). Jika sehari bekerja 7 jam, dengan nilai tukar Rp terhadap dollar Australia saat ini Rp 10.000 per dollar, maka penghasilan sehari buruh di Australia 7 x Rp 220.000 = Rp. 1.540.000. Jika anda bekerja 24 hari per bulan, maka akan menerima upah 24 x Rp 1.540.000 = Rp 36.960.000 per bulan. Itulah penjelasan, mengapa meskipun seseorang hanya buruh alias pekerja kasar tanpa skill tinggi, bisa travelling ke negara-negara lain yang nilai tukar mata uangnya lebih rendah. Namun hal ini tidak berlaku sebaliknya. Jika anda bekerja di Jakarta dengan upah minimum Rp 4 juta per bulan, upah satu bulan Anda, tidak cukup untuk membeli ticket pesawat ke Australia sekali jalan.

Pada tahun 2019, jumlah penduduk Australia hanya 25 juta jiwa. Apabila anda sebagai buruh di Australia dengan skill tertentu (contoh: plumbing, electrician, brick layer, carpenter, painter, dll), upahnya mencapai 30 dollar per jam. Jadi tukang batu (brick layer), tukang kayu (carpenter) di Australia bekerja sehari 7 jam, akan mendapatkan penghasilan 7 x 30 x 10.000 = Rp. 2.100.000. Upah sehari di Australia ekuivalen dengan upah buruh di Jawa tengah bekerja selama 1 bulan. Itulah sebabnya, perusahaan atau pengusaha di Australia berusaha meminimalkan jumlah karyawan dan mengoptimalkan penggunaan mesin-mesin untuk meningkatkan produktivitas. Sedangkan di Indonesia, karena upah buruh murah, maka jumlah karyawan di suatu perusahaan jumlahnya banyak. Pengusaha di Indonesia lebih cenderung memakai tenaga manusia ketimbang investasi pada mesin-mesin (robot) yang harganya mahal. Selain itu, dengan hubungan kerja yang berdasarkan kontrak, lebih menguntungkan pemilik usaha karena dengan mudah bisa mengganti tenaga kerja lama dengan tenaga kerja baru yang lebih muda usianya. Caranya, masa kontraknya dibuat jangka pendek (6 sampai 12 bulan).

Yang lebih memprihatinkan lagi adalah para buruh pabrik di JABODETABEK, tidak memiliki akses langsung ke pabrik untuk melamar pekerjaan. Para pencari kerja harus melamar pekerjaan melalui agen penyalur tenaga kerja. Agen penyalur tenaga kerja akan mengenakan biaya tertentu kepada para pelamar. Para agen penyalur ini, bekerjasama dengan Lembaga Pelatihan dan Kursus (LPK) akan menyalurkan para pelamar ke pabrik-pabrik. Sistem kerjanya kontrak jangka pendek (antara 3 sampai 12 bulan). Ketika kontrak kerja berakhir, para buruh harus melamar lagi melalui agen penyalur dengan membayar biaya rekrutmen. Daya tawar para pelamar kerja sangat lemah, karena jumlah pelamar jauh lebih banyak dari ketersediaan lowongan kerja. Inilah kondisi riil pasar tenaga kerja di Indonesia. Jika pelamar berusia antara 18 sampai 22 tahun, mereka masih diberi alternatif pilihan penempatan, sementara jika pelamar berusia 23 sampai 28 tahun, mereka tidak memiliki pilihan dan harus bersedia di tempatkan dimana saja.

Kapitalisme membutuhkan tenaga kerja, namun tidak berpihak pada kepentingan kesejahteraan pekerja (buruh). Tanpa intervensi kebijakan Pemerintah yang pro-pekerja, maka nasib pekerja selamanya tidak seberuntung pemilik kapital. Itulah sebabnya, faham ekonomi sosialisme-komunisme (Marxisisme-Leninisme) lebih menarik bagi kaum buruh karena menjanjikan tidak adanya eksploitasi oleh pemilik kapital dan menjanjikan kemakmuran dicapai bareng-bareng (bersama-sama). Menurut ideologi Marxisisme-Leninisme, hanya negara yang berhak menguasai faktor produksi (tanah, pabrik, mesin-mesin, dll) karena negara dianggap sebagai institusi yang paling adil mendistribusikan kemakmuran kepada rakyatnya. Ideologi ekonomi politik ini, telah ditinggalkan oleh Bangsa Rusia yang pertama mempraktekkannya. Pada pertengahan tahun 1980, sebagai respon atas melemahnya ekonomi Uni Soviet dan merebaknya korupsi oleh aparat birokrasi, maka Presiden Mikhail Gorbachev mulai melakukan reformasi ekonomi dan politik Uni Soviet dengan slogan Glasnost (keterbukaan informasi dalam segala bidang untuk melawan korupsi) dan Perestroika (restrukturisasi ekonomi dengan memberi kesempatan individu untuk berusaha/wiraswasta). Dengan gerakan Glasnost dan Perestroika, negara-negara satelit yang semula bergabung membentuk “Uni Soviet” mulai melepaskan diri dan satu persatu beralih menjadi negara kapitalis.

Perbedaan pokok antara faham kapitalisme dengan komunisme adalah :
1. Kapitalisme berkeyakinan bahwa kapital (faktor produksi) paling baik dimiliki oleh individu (capital belong to individual)
2. Komunisme berkeyakinan bahwa kapital (faktor produksi) paling baik dimiliki oleh negara (capital belong to state)
Itulah perbedaan pokok antara sistem ekonomi kapitalisme dengan komunisme. Banyak orang yang tidak cukup “well informed” dan termakan oleh propaganda politik tertentu, memiliki pemahaman yang kurang akurat tentang ideologi di atas. Orang-orang yang kurang “well informed” ini menyangka, bahwa komunisme identik dengan “atheisme”. Padahal kedua konsep tersebut sangat berbeda. Baik orang yang menganut faham komunisme maupun kapitalisme, keduanya bisa saja atheis (tidak percaya keberadaan Tuhan sang Pencipta alam dan segala isinya). Dalam perjalananya, faham ekonomi komunisme yang berhasil meningkatkan kemakmuran adalah faham komunisme yang telah dikawinkan dengan faham kapitalisme. Negara yang berhasil melakukan perkawinan komunisme dengan kapitalisme adalah RRT (Republik Rakyat Tiongkok). Negara RRT membebaskan warganegaranya untuk memiliki usaha (bisnis) namun kepemilikan tanah tetap ada pada negara. Itulah sebabnya, para pengusaha RRT yang sukses dengan uang berlimpah, banyak membeli properti di negara-negara maju yang membolehkan warga negara asing memiliki properti. Akibatnya, harga properti di kota-kota besar dunia, mengalami lonjakan harga akibat dana-dana dari pengusaha RRT yang ingin mengivestasikan uangnya di sektor properti.

Penjelasan tentang fenomena di atas dipelajari dalam ilmu ekonomi mikro, yaitu ilmu yang menjelaskan interaksi ekonomi antar individu pelaku ekonomi. Sedangkan ilmu ekonomi makro menjelaskan tentang fenomena inflasi, tingkat suku bunga, nilai tukar mata uang, bagaimana menurunkan tingkat pengangguran melalui kebijakan fiskal dan moneter, dll.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.